TRANSPARANSI VS KETERBUKAAN

TRANSPARANSI VS KETERBUKAAN

 

Kita sering mendengar orang menulis dan menyebutkan transparansi dan keterbukaan. Apakah ini dua kata yang maknanya sama? Btw, satu kata bisa mengandung setidaknya empat makna. Makna bahasa (etimologi), makna istilah (terminologi), makna adat, makna trend/pop, makna subjektif. Anda ingin menambahkan? Silakan.Nah, transparansi dan keterbukaan ini, bisa dilihat dari makna subjektif. Subjektivitas ini tentu lahir dari pengalaman seseorang. Saya berupaya mendapatkan dua perspektif, bisnis dan pemerintahan. Setelah dicari-cari, akhirnya saya menemukan pendapat dari Amor Maclang leads GeiserMaclang, an internationally awarded full-service marketing communications company, dari perpektif bisnis dan James Purser, Development Coordinator Local Government and Shires Association, dari perspektif pemerintahan. Bagaimana hasilnya?

Ternyata dua perspektif ini agak mirip-mirip. Transparansi merupakan tindakan “pasif” dimana pihak bersangkutan memberitahukan, mempublikasikan, atau mengumumkan sesuatu kepada objeknya. Menurut Amor, transparency involves making all of your information readily available to your customers by showing them the mundane and routine workings behind the scene. Hal senada diungkapkan James transparency is what you get when the government tells you what’s going on.

Saya menggunakan istilah “pasif” untuk makna transparansi sebagai perbandingan dari makna keterbukaan. Dalam keterbukaan, ada pelibatan aktif pihak lain. Menurut Amor, Openness is a tool to let your customers know that you have good intentions, and involves frequent and precise communication between your business and your stakeholders. Menurut James, Openness is what you get when the government moves out from behind the window and sits down with you and starts talking about what it’s been serving up.

Jadi, kalau cuma mengumumkan informasi, itu baru transparan. Tapi, jika informasi yang diumumkan tadi, dijadikan objek perbicangan dan diskusi, antara pemilik informasi dan penerima informasi (publik atau konsumen), maka Anda masuk pada level keterbukaan. Tapi menurut Amor Maclang, Anda tidak cukup hanya dengan terbuka, mengajak orang berdialog atau diskusi, tetapi tidak mempublikasikan apa yang seharusnya. Ini berpotensi menurunkan “trust” pihak lain. Contohnya gini, Anda mengadakan dengar pendapat lalu mengatakan, “Kami telah menganggarkan dana pendidikan dan kesehatan untuk rakyat miskin sangat besar sebagaimana usulan yang Bapak dan Ibu sampaikan sebelumnya,”. Tapi cuma dialog doank. Dokumen APBD dan RKA-KL diumpetin tidak diumumkan. Ya, gak pas juga.

Kembali pada definisi dua istilah di atas, saya sependapat dengan definisi mereka. Sungguh, masuk akal. Tapi sekali lagi, ini makna subjektif. Anda boleh berbeda. Kalau mau sama? Ya, boleh juga. Bagaimana dengan UU KIP yang menggunakan istilah Keterbukaan? Saya tidak menemukan pembahasan makna ini dalam pembahasan UU ini. Pada saat itu, pilihannya ada dua. Keterbukaan Informasi Publik atau Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. Meski tak ada perintah untuk mendialogkan informasi. Tapi dilihat dari tujuan UU KIP, maka ia sejalan dengan makna keterbukaan di atas. Wallahu’alam. (Arbain-IPC)

 

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.