LONDON – Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs) telah diatur dalam Peraturan Presiden No. 59/2017. Secara umum, SDGs merupakan bagian tidak terpisahkan dari Rencana Pembangunan Jangkah Menengah Nasional sebagai strategi pencapaian Nawacita.
Jumat, 28 Juli 2017, di Arundel House London, Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Inggris dan Irlandia Utara bekerjasama dengan sebuah think-tank terkemuka di Inggris, International Institute for Strategic Studies (IISS) menggelar diskusi mengenai implementasi SDGs dan Kemitraan untuk Keterbukaan Pemerintah atau Open Government Partnership (OGP).
Dikusi dimoderatori Virginia Comolli, Research Fellow IISS menghadirkan pembicara utama Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho yang juga Honorary Fellow di University of Manchester, Inggris. Acara dihadiri wakil dari pemerintah Inggris, parlemen, investor, peneliti, dan masyarakat sipil. Hadir pula wakil KBRI, Badan Koordiansi Penanaman Modal, Bank Indonesia serta mahasiswa asal Indonesia yang tengah studi lanjut di Inggris Raya.
Yanuar menjelaskan, dari 17 goals dan 169 targets SDGs, Indonesia mengadopsi 96 target dan mengembangkan sejumlah indikator. Juga telah dibentuk sekretariat nasional untuk mengkoordinasikan pelaksanaan SDGs oleh Kementerian dan Lembaga serta Pemerintah Daerah di bawah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang melibatkan aktor-aktor non pemerintah seperti masyarakat sipil, akademisi, dan filantropi.
Pada pertengahan Juli lalu, dalam High Level Political Forum di New York, Indonesia bersama 43 negara lainnya telah menyampaikan Voluntary National Review (VNR) pelaksanaan SDGs di Indonesia. “Melihat konteks Indonesia di mana ketimpangan atau inequality masih menjadi masalah utama, SDGs memfokuskan kinerja kementerian, lembaga dan pemerintah daerah bersama masyarakat sipil untuk mencapai Nawacita yang dicanangkan Presiden Jokowi,” kata Yanuar.
Dalam paparannya, Yanuar menyampaikan pengalamannya sebagai salah satu negosiator Indonesia di PBB menjalani jalan terjal dan berliku negosiasi SDGs maupun inisiasi OGP. Kini, dalam kapasitasnya sebagai Deputi Kepala Staf Kepresidenan, ia juga menyajikan refleksinya tentang bagaimana SDGs dan OGP diimplementasikan sejauh ini.
Pertama, Indonesia telah terlibat aktif dalam persiapan SDGs atau Agenda 2030 yang sebelumnya dikenal dengan nama ‘Post-2015 Development Agenda’ semenjak pertemuan Rio+10, kepemimpinan sebagai co-chair dalam High-Level Panel of Eminent Persons (HLPEP) on the Post-2015 Development Agenda dan menjadi thought leader dalam negosiasi Open Working Group yang akhirnya menyepakati SDGs. “Kini, setelah disahkan dalam Sidang Umum PBB September 2015, sampai dengan 2030, SDGs akan menjadi referensi dan norma perencanaan pembangunan global,” ungkap Yanuar.
Kedua, Indonesia bersama tujuh negara lain termasuk Amerika Serikat dan Inggris menajdi inisiator terbentuknya OGP pada 2011. Indonesia menjadi chair OGP pada 2013-2014 dan selanjutnya menjadi steering committee 2016-2018.
“Sebagai sebuah multilateralisme, Kemitraan untuk Keterbukaan Pemerintah unik karena sejak awal sudah melibatkan masyarakat sipil untuk duduk dalam system governance-nya,” urai Yanuar. Masyarakat sipil duduk sama tinggi dengan pemerintah. Berawal dari 8 negara, kini keanggotaan OGP sudah mencakup lebih dari 75 negara di dunia. Prinsip-prinsip OGP (partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan inovasi) bahkan telah diadopsi secara universal dan melahirkan berbagai inisiatif keterbukaan pemerintah.
Di Indonesia, pemerintah menginisiasi Open Government Indonesia (OGI). Dengan hashtag #JadiOpen, OGI mendorong munculnya inisiatif Satu Peta, yang telah dituangkan dalam Perpres 9/2016, dan kini menyiapkan Satu Data, e-Government (atau SPBE -Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik) dan Pencatatan Sipil dan Stataistik Hayati sebagai basis data kependudukan (PS2H) serta mendorong upaya-upaya keterbukaan sektor-sektor lain pembangunan.
Yanuar menekankan, dalam strategi nasionalnya, Open Government bisa dilihat sebagai ‘mesin pemikir’, sekaligus memberikan kerangka konseptual upaya makro Anti Korupsi dan Reformasi Birokrasi (AK-RB). Sekretariat Nasional Open Government Indonesia dijalankan bersama-sama oleh KSP, Kementerian Luar Negeri dan Bappenas.
Baik SDGs maupun OGP merupakan agenda jangka panjang yang kurun waktu pencapaiannya melebihi kurun waktu pemerintahan saat ini maupun yang akan datang. “Itu mengapa salah satu tantangan terbesarnya adalah menyiapkan pondasi struktural agar relevansi SDGs dan OGP selalu terjaga,” tegasnya.
Ketiga pondasi struktural ini adalah kerangka regulasi dan kebijakan, kerangka dan tata kelembagaan, serta kerangka akuntabilitas. Kerangka kebijakan dibutuhkan sebagai rujukan regulasi, kerangka kelembagaan diperlukan sebagai koridor kerjasama antar kementerian, lembaga, dan pemda serta antara pemerintah dan non-pemerintah. Sedangkan kerangka akuntabilitas diperlukan untuk memastikan adanya pengendalian pencapaian yang efektif dan akuntabel. “Tanpa tiga kerangka ini, visi mengenai pembangunan berkelanjutan maupun keterbukaan pemerintah hanya tinggal visi,” ungkap Yanuar.
Dalam perjalanan ke Inggris, selain berbicara di IISS, Yanuar juga berbagi forum dengan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Arif Zulkifli dan pakar politik Asia Tenggara dari University of Leeds, Dr. Adam Tyson pada forum Indonesian Scholars International Convention (ISIC) di Universitas Warwick, Coventry.
Berbicara di panel mengenai radikalisme dari berbagai dimensi 24 Juli 2017 itu, Yanuar menyampaikan perspektif pembangunan dalam melihat munculnya gerakan konservatisme di Indonesia. Selain itu, Yanuar juga melakukan perjalanan ke Manchester untuk berbicara dalam sejumlah pertemuan akademik mengenai pembangunan, dinamika pengetahuan, dan foresight pada 25-27 Juli 2017 di University of Manchester. sumber http://ksp.go.id/tujuan-pembangunan-berkelanjutan-dan-keterbukaan-pemerintah-mendukung-pencapaian-nawacita/